Hanya di Medsos, Sidang MK Tak Bahas Mantan Napi

Kota Bima. Beberapa hari terakhir heboh di media sosial tentang penolakan beberapa akun sosial media terhadap Feri Sofiyan, SH yang menjadi Wakil Walikota Bima terpilih di Pilkada Kota Bima tahun 2024 lalu. Bahkan sebuah video yang berisi ujaran kebencian dan penghasutan terkait masalah tersebut, juga sempat viral hingga menimbulkan reaksi dari keluarga dan pendukung ManFeri.

Dalam narasi-narasi status media sosial yang berkembang, dikatakan bahwa Feri Sofiyan seharusnya tidak diloloskan oleh KPU Kota Bima sebagai calon Wakil Walikota di Pilkada Kota Bima tahun 2024. Alasannya, karena Feri Sofiyan pernah dihukum penjara atas perkara lingkungan hidup tahun 2022 lalu..

Ada juga yang berargumentasi bahwa terkait kasus pidana tersebut, seharusnya Feri Sofiyan menunggu 5 tahun jeda baru bisa kembali mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah atau wakil dalam kontestasi Pilkada Kota Bima.

Lalu ada juga yang menyatakan bahwa nanti MK akan mendiskualifikasi Paslon ManFeri karena secara hukum Feri Sofiyan pernah dipenjara dan belum menjalankan jeda 5 tahun dari masa tahanannya.

Kasus Feri Sofiyan Bukan Tindak Kejahatan

Kasus yang menjerat mantan Wakil Walikota Bima, Feri Sofiyan, SH, bukanlah termasuk tindak kejahatan. Jika dilihat dari pelangaran yang dilakukan, kasus tersebut hanya sebuah pelanggaran administrasi yang dalam hal ini, Feri Sofiyan, SH melanggar pasal 36 ayat 1 UU 32 Tahun 2009..

Pasal 36 ayat 1 UU 32 Tahun 2009 itu berbunyi, “Setiap usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki amdal atau UKL-UPL wajib memiliki izin lingkungan”.

Berdasarkan alat bukti yang disampaikan di Pengadilan, Feri Sofiyan sudah melalui proses perijinan dengan mengantongi Amdal atau UKL-UPL, rekomendasi pembangunan dermaga untuk KSOP dan proposal ijin pemanfaatan Ruang Laut untuk Mentri Kelautan. Hanya memang belum mengurus ijin lingkungan dari Kementrian Lingkungan Hidup RI melalui DLH Provinsi NTB

Akibat kealpaan tersebut, Feri Sofiyan diancam pasal 109 UU 32 Tahun 2009, dengan ancaman pidana kurungan maksimal 3 tahun dan denda maksimal Rp. 3.000.000.0000,- (tiga milyar rupiah).

Namun dalam perjalanan proses hukum hingga ke tingkat kasasi, Feri Sofiyan hanya dijatuhi hukuman 6 bulan penjara dan denda Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah). Tentu putusan ini lebih ringan dari ancaman minimal sebagaimana yang tertuang dalam pasal 109, yaitu ancaman kurungan minimal 1 tahun.

Karena bukan merupakan tindak kejahatan dan hanya berupa pelanggaran, Feri Sofiyan juga tidak dicopot dari jabatannya sebagai Wakil Walikota Bima. Ia tetap menjabat sebagai Wakil Walikota Bima hingga akhir masa jabatannya, September 2023.

Feri Sofiyan Dibolehkan MK dan KPU Ikut Pilkada

Lantas apakah karena pernah menjadi Terpidana Feri Sofiyan tidak boleh ikut Pilkada Kota Bima tahun 2024? Jawabannya boleh. Seandainya tidak boleh tentu Feri Sofiyan tidak diloloskan sebagai calon Wakil Walikota Bima mendamping H.A. Rahman H. Abidin oleh KPUD Kota Bima.

Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 56/PUU-XVII/2019, bahwa yang tidak boleh mencalonkan diri secara langsung karena harus menunggu jeda 5 (lima) tahun adalah mantan terpidana yang diancam dengan ancaman pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih. Hal ini diperjelas lagi dalam pertimbangan Hakim Konstitusi pada putusan Nomor 54/PUU-XXII/2024.

Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa masa tunggu 5 tahun hanya diberlakukan terhadap terpidana tindak pidana yang terbukti melakukan tindak pidana yang diancam 5 (lima) tahun atau lebih dan tidak dapat diberlakukan terhadap terpidana yang terbukti melakukan tindak pidana yang diancam paling tinggi 5 (lima) tahun.

Dengan penegasan Hakim Konstitusi tersebut, maka menjadi jelas bahwa Feri Sofian tidak termasuk sebagai mantan terpidana yang harus menunggu masa jeda 5 (lima) tahun untuk bisa ikut dalam kontestasi Pilkada Kota Bima. Feri Sofiyan dalam kasusnya hanya diancam dengan pidana 3 tahun dan dalam putusan MA Nomor 2751 K/Pid.Sus/2022, hanya dijatuhi pidana 6 bulan penjara.

Berdasarkan putusan MK tersebut, KPU RI juga telah mengeluarkan PKPU yang mengatur lebih lanjut tentang syarat pencalonan mantan terpidana di Pilkada tahun 2024. Dalam PKPU nomor 8 tahun 2024, menjelaskan tentang syarat bagi mantan terpidana yang dijelaskan secara gamblang dalam pasal 14 ayat 2 huruf f, pasal 20 ayat 2 dan pasal 22 huruf a, b, c dan d.

Pada pasal 22 huruf a, b, c dan d PKPU nomor 8 tahun 2024, bagi mantan terpidana seperti Feri Sofian hanya menyaratkan surat dari pimpinan redaksi media massa, surat keterangan dari Kepala Lembaga Pemasyarakatan, salinan putusan pengadilan dan surat keterangan bukan sebagai pelaku kejahatan berulang-ulang.

Tentang Mantan Napi, Tidak Ada Gugatannya di MK

Bagi yang pernah mengikuti sidang MK untuk PHPkada Kota Bima, pasti sudah menyimak apa saja fakta yang muncul saat persidangan berlangsung. Mulai dari sidang pertama tanggal 9 Januari 2025,, hingga sidang kedua tanggal 21 Januari 2025.

Dari permohonan pemohon yang dibacakan sebagian tanggal 9 Januari 2025 dan bisa diakses seluruhnya di laman resmi Mahkamah Konstitusi RI, hanya ada 13 dalil gugatan yang diajukan pemohon dalam permohonannya. 13 dalli gugatan itu antara lain; adanya 38.224 pemilih ganda, pemilih ganda di 21 TPS, dugaan penghadangan kampanye Paslon 02 oleh pendukung paslon 01, kotak suara tertinggal, satu massa kampanye yang meninggal, dll.

Dari 13 dalil gugatan tersebut tidak ada satupun dalil yang menggugat terkait keabsahan Feri Sofiyan sebagai calon Wakil Walikota Bima yang berpasangan dengan H.A.Rahman H. Abidin. Bahkan 13 dalil gugatan pemohon diatas sudah dibantah seluruhnya dengan data dan bukti yang paling valid oleh Termohon, Bawaslu dan Pihak Terkait pada sidang lanjutan tanggal 21 Januari 2025.

Dengan adanya putusan MK nomor 56/PUU-XVII/2019 yang dipertegas loleh putusan MK nomor 54/PUU-XXII/2024 dan PKPU nomor 8 tahun 2024, maka pencalonan Feri Sofiyan sebagai Wakil Walikota Bima sangat sah dalam hukum. Sementara untuk yang berharap paslon ManFeri didiskualifikasi oleh MK dalam sidang PHPkada Kota Bima, tentunya harapan itu tidak akan terwujud karena pertama, pencalonan Feri Sofian sudah sesuai aturan hukum yang berlaku dan kedua, tidak ada gugatan itu dalam permohonan pemohon di MK.

Lalu bagaimana jika dalil tersebut memang tidak ada dalam permohonan tetapi alat buktinya tetap diajukan dengan niatan sebagai strategi atau prank? Berdasarkan Undang-undang nomor 24 tahun 2003 pasal 31 ayat 2, alat bukti haruslah yang mendukung permohonan pemohon. Kemudian pada pasal 37 undang-undang yang sama, Hakim Konstitusi nantinya hanya akan memeriksa alat bukti yang bersesuaian satu sama lain. (san).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *