Aksara Arab-Melayu Bima Punya Ciri Khas, Gabungkan Unsur Beberapa Khot

Kota Bima, 17 Mei 2005 – Aksara Arab-Melayu dalam naskah-naskah kuno asal Bima memiliki kekhasan bentuk dan gaya penulisan yang berbeda dari tradisi aksara Arab-Melayu di wilayah Nusantara lainnya. Fakta menarik ini diungkap oleh Dr. Ikhwan, S.S., M.Hum., dosen Departemen Sejarah dan Filologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran (Unpad), dalam Focus Group Discussion (FGD) bertajuk Strategi Pengembangan Program Museum Berbasis Koleksi Manuskrip dan Kajian Filologi, yang digelar di Museum Samparaja, Kota Bima.

Dalam presentasinya, Dr. Ikhwan menyebut bahwa aksara Arab-Melayu yang ditemukan dalam sejumlah naskah Bima memperlihatkan kekhasan lokal yang dapat dikenali secara visual. Meskipun naskah-naskah tersebut ditulis oleh penulis dan penyalin yang berbeda, namun tetap menunjukkan konsistensi dalam struktur dan bentuk huruf, terutama pada bagian awalan dan akhiran kata.

“Para penulis naskah Bima tidak hanya mengadopsi satu jenis khot (gaya tulisan Arab), tetapi justru memadukan beberapa gaya menjadi satu sistem penulisan yang khas. Unsur-unsur dari khot Naskhi, Riq’ah, dan Diwani terlihat menyatu dalam tulisan naskah-naskah ini, dan dari perpaduan itu terbentuklah gaya Arab-Melayu Bima yang unik,” ujarnya.

Dr. Ikhwan menambahkan, khot Naskhi dikenal karena keterbacaannya dan sering digunakan dalam teks keagamaan; Riq’ah memiliki bentuk huruf yang sederhana dan ringkas; sementara Diwani dikenal dengan lekukan-lekukan artistiknya. Ketiganya jika dikombinasikan, menghasilkan karakter tulisan yang tidak hanya indah tetapi juga efisien secara fungsional.

“Ini bukan hanya persoalan estetika tulisan, tetapi juga menunjukkan kecanggihan para penulis lokal Bima dalam menyesuaikan sistem tulisan Arab dengan bahasa Melayu lisan yang digunakan sehari-hari pada masa itu,” jelasnya lebih lanjut.

Penemuan ini memberikan kontribusi penting bagi kajian filologi dan sejarah lokal. Menurut Dr. Ikhwan, kekhasan tulisan dalam naskah Bima bisa menjadi pintu masuk untuk mengenali jaringan intelektual, pengaruh budaya, dan dinamika keilmuan di masa lalu yang berkembang di wilayah Bima dan sekitarnya.

Museum Samparaja, yang kini mulai mengoleksi dan merawat naskah-naskah kuno tersebut, diharapkan dapat dikembangkan sebagai pusat studi manuskrip dan budaya tulis lokal. Pemerintah Kota Bima bersama para akademisi berkomitmen menjadikan museum ini tidak hanya sebagai tempat penyimpanan benda-benda sejarah, tetapi juga sebagai ruang hidup bagi diskusi, riset, dan edukasi berbasis manuskrip.

Kegiatan FGD ini juga dihadiri oleh para sejarawan, budayawan, akademisi lokal, serta pegiat literasi. Mereka sepakat bahwa pelestarian naskah kuno tidak cukup hanya dengan konservasi fisik, tetapi juga perlu didukung dengan kajian ilmiah yang berkelanjutan, digitalisasi, serta pelibatan masyarakat dan generasi muda dalam proses pengenalan dan pemaknaan naskah sebagai bagian dari warisan budaya.

Dengan temuan ini, Bima kembali menegaskan posisinya sebagai salah satu wilayah penting dalam sejarah literasi dan budaya tulis di Indonesia Timur..

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *