Jakarta, 7 Juni 2025 – Konflik agraria di Kecamatan Angata, Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, kembali memakan korban. Dua petani dikabarkan menjadi korban kekerasan brutal berupa pembacokan yang terjadi pada Jumat (6/6), diduga kuat dilakukan oleh preman bayaran yang berafiliasi dengan perusahaan perkebunan.
Insiden ini memicu kemarahan publik dan memantik reaksi keras dari Pimpinan Pusat Serikat Tani Nelayan (PP STN). Dalam pernyataan sikap resminya, PP STN mengecam tindakan kekerasan yang dianggap sebagai pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia serta mencerminkan ketimpangan struktural dalam pengelolaan agraria nasional.
“Kami mengutuk keras segala bentuk kekerasan, intimidasi, dan kriminalisasi terhadap petani. Pembacokan ini tidak hanya menyakiti fisik para petani, tapi juga melukai nurani bangsa,” tegas Ahmad Rifai, Ketua Umum PP STN.
Konflik Berkepanjangan Sejak 1996
Konflik agraria di Angata melibatkan delapan desa: Lamooso, Motaha, Lamoen, Puao, Puusanggula, Sandey, Teteasa, Puuroe, dan Sandarsi Jaya. Perseteruan dimulai pada 16 Desember 1996 ketika PT Sumber Madu Bukhari (SMB) mulai mengklaim lahan seluas 1.300 hektare yang telah digarap secara turun-temurun oleh masyarakat. Ketegangan semakin memuncak sejak masuknya PT Marketindo Selaras (MS) pada 2010.
Banyak lahan yang sebenarnya telah bersertifikat atau digarap warga selama puluhan tahun justru diklaim perusahaan melalui Izin Usaha Perkebunan (IUP) dan Hak Guna Usaha (HGU). Lemahnya transparansi dalam pengalihan aset, ketidakjelasan status lahan, dan minimnya mediasi pemerintah turut memperkeruh situasi.
Desakan Penegakan Hukum
PP STN mendesak Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo agar segera mengusut tuntas kasus kekerasan ini, termasuk menangkap para pelaku dan pihak yang memerintahkan atau membiayai aksi premanisme terhadap petani.
“Keadilan harus ditegakkan tanpa pandang bulu. Tidak boleh ada kekebalan hukum bagi siapa pun yang melukai rakyat,” tambah Rifai.
Selain itu, pihaknya juga menuntut audit menyeluruh terhadap IUP dan HGU PT Marketindo Selaras, serta transparansi dalam proses pengalihan aset dari PT SMB. Menurut Rifai, mediasi antara petani, perusahaan, dan pemerintah harus segera dilakukan dengan mengedepankan kepentingan rakyat.
Reforma Agraria dan Perlindungan Petani
PP STN menekankan bahwa kasus ini adalah gambaran nyata dari darurat agraria nasional. Ketimpangan penguasaan tanah yang ekstrem—di mana 1% penduduk menguasai 68% tanah—menurut mereka, hanya bisa diatasi melalui reforma agraria sejati.
“Negara harus berpihak kepada petani kecil, masyarakat adat, dan kelompok rentan lainnya. Reforma agraria bukan sekadar program teknokratis, tapi komitmen moral untuk keadilan sosial,” kata Rifai.
PP STN juga meminta pemerintah menghentikan pendekatan represif terhadap petani dan menggantinya dengan dialog dan penghormatan terhadap hak-hak dasar warga negara.
Seruan Solidaritas
Mengakhiri pernyataan, PP STN menyerukan solidaritas nasional untuk mengawal penyelesaian konflik agraria di Konawe Selatan. Mereka menegaskan bahwa keadilan agraria adalah syarat utama untuk membangun kedaulatan pangan dan kesejahteraan rakyat.
“Tanah, modal, teknologi, modern, murah, massal – semua untuk pertanian kolektif rakyat. Inilah jalan menuju negeri yang adil dan makmur, di mana wong cilik bisa kembali tersenyum,” pungkas Rifai, seraya mengutip pernyataan Presiden Prabowo Subianto tentang visi bangsa yang gemah ripah loh jinawi.