Iluminasi Naskah Bisa Jadi Identitas Visual Bima

Kota Bima, 27 Mei 2025 – Iluminasi yang terdapat dalam naskah-naskah kuno Bima dinilai memiliki potensi besar untuk dijadikan identitas visual khas daerah. Hal ini disampaikan oleh Fahru Rizki, peneliti budaya Bima, dalam FGD Strategi Pengembangan Program Museum Berbasis Koleksi Manuskrip dan Kanian Filologi  di Museum Samparaja Kota Bima, Selasa, 27 Mei 2025..

Menurut Fahru Rizki, iluminasi dalam naskah bukan sekadar ornamen, melainkan cerminan nilai-nilai estetika dan budaya masyarakat masa lalu. Ia mencontohkan sejumlah daerah di Indonesia yang berhasil menjadikan motif-motif iluminasi naskah sebagai dasar penciptaan ornamen khas daerah, yang kemudian menjadi identitas visual yang kuat.

“Motif renda yang kini digunakan sebagai ikon visual Kota Bima tidak memiliki landasan sejarah yang jelas. Daripada memakai simbol yang tidak berakar dari budaya lokal, lebih baik kita mengangkat iluminasi dari naskah-naskah kuno Bima yang memang otentik dan kaya makna,” tegasnya.

Iluminasi dalam naskah Bima memiliki ragam bentuk, mulai dari pola geometris, stilisasi tumbuhan, hingga simbol-simbol lokal yang dapat diadaptasi menjadi beragam produk budaya seperti kain, batik, ukiran, arsitektur, hingga desain grafis kontemporer. Potensi ini tidak hanya memperkuat identitas visual Bima, tetapi juga membuka peluang besar bagi pengembangan ekonomi kreatif daerah.

Para pengrajin tenun dan pembatik lokal bisa diajak berkolaborasi untuk mengolah ulang motif-motif iluminasi menjadi produk tekstil khas Bima yang bernilai jual tinggi. Dengan pendekatan ini, Kota Bima tidak hanya mempertahankan warisan budaya leluhur, tetapi juga mampu menawarkannya dalam format baru yang relevan dengan perkembangan zaman.

Fahru menekankan pentingnya peran pemerintah daerah, akademisi, dan komunitas seni dalam mendokumentasikan serta menghidupkan kembali motif-motif iluminasi tersebut agar dapat dikenali sebagai identitas visual resmi Kota Bima. “Sudah saatnya Bima punya ikon visual yang lahir dari sejarah dan budayanya sendiri, bukan hanya sekadar ikut-ikutan tren,” pungkasnya. (san).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *